Kolumnis dan editor Roxane Gay, lewat akun Twitter-nya,
mengatakan ada myopia budaya yang sering menyertai pemberian Nobel
Sastra. Bahwa setiap kali penerima penghargaan bergengsi itu diumumkan,
ada ketidaktahuan akan siapa sastrawan yang tahun itu dipastikan
menerima Nobel. Namun, ketika nama Alice Munro diumumkan sebagai
penerima Nobel Sastra 2013, bukan kebingungan yang muncul, melainkan
rasa bahagia yang merata.
Alice Munro, seorang penulis Kanada
berusia 82 tahun, tak hanya luas dikenal dan diakui sebagai maestro
cerita pendek modern, tapi juga sangat dicintai. Dia adalah orang Kanada
pertama sekaligus perempuan Kanada pertama yang mendapat penghargaan
Nobel Sastra. Sampai saat ini, baru ada 13 perempuan yang menjadi
penerima penghargaan ini.
Swedish Academy berusaha menghubungi
Alice Munro untuk memberitahunya bahwa dia memenangkan penghargaan
Nobel, tapi telpon di rumahnya tak diangkat. Para pemberi Nobel itu pun
terpaksa meninggalkan pesan suara. Setelah Munro mengetahui bahwa ia
menjadi peraih penghargaan bergengsi itu, dan ditanya kenapa ia tak
mengangkat telpon, Munro bilang, bahwa saat itu tengah malam di Kanada, dan ia tak ingat sama sekali ada pemberian Nobel.
Alasan
Munro menulis cerita pendek sudah sering diulang--bahwa format ini ia
gunakan untuk 'berlatih' karena merasa belum siap menulis novel. Pilihan
subjeknya pun sangat intim dan personal, akan apa yang terjadi
sehari-hari pada kehidupan gadis dan perempuan Kanada.
Seolah, pilihan topiknya itu tidak 'politis' atau 'penting', tapi penulis Roxana Robinson dalam blog di situs New Yorker mengatakan bahwa justru dengan pilihan topik dan subjeknya itu, Munro
tengah menyodorkan isu politis yang penting dan radikal dan mengguncang.
"Intinya adalah gadis-gadis dan perempuan-perempuan ini, mereka yang
menjalani hidup yang sempit dan terbatas, yang tak punya pengaruh, yang
memiliki sedikit pengalaman hidup, sama signifikan dan pentingnya
seperti anak laki-laki dan pria yang mengonsumsi obat-obatan, berkendara
melewati perbatasan, meluncur di sungai, atau berburu paus. Bahwa
kehidupan perempuan juga didorong oleh kekuatan-kekuatan hebat yang
menjadi dasar semua pengalaman penting. Dan kekuatan itu datang dari
dalam: kemarahan, cinta, kecemburuan, kebencian, dan duka."
Inilah
yang membuat kemenangan Alice Munro penting, bahwa kerjanya menuliskan
kisah-kisah yang seolah kecil dan tak penting tentang
perempuan-perempuan yang bukan siapa-siapa mendapat pengakuan lewat
penghargaan Nobel Sastra.
Setidaknya ada 14 kumpulan cerita
pendek yang diterbitkan oleh Alice Munro. Yang pertama, "Dance of the
Happy Shades", terbit pada 1968, saat ia berusia 37 tahun.
Meski
nama dan reputasi Munro sudah banyak diketahui, ternyata tak banyak
yang mengetahui atau membaca karyanya di Indonesia, padahal format
cerpen sangat populer di sini.
Untuk ini saya mengajukan teori.
Bahwa pilihan topik cerita-cerita Munro -- tentang kehidupan sederhana
gadis-gadis dan perempuan--dianggap tak cukup bergengsi. Kadang orang
membaca atas alasan gengsi, dan Munro seringnya tak masuk dalam daftar
penulis yang dianggap 'bergengsi' untuk kemudian bisa dipamerkan ke
orang lain bahwa mereka telah membaca karya penulis X atau Y.
Orang
juga sering membaca atas rekomendasi dari para 'pembentuk selera' --
kritikus atau sastrawan dengan nama besar. Dan sampai sekarang, saya
belum pernah menemukan sosok sastrawan besar Indonesia yang
merekomendasikan Alice Munro untuk dibaca. Mungkin, sekali lagi, itu ada
hubungannya dengan gengsi. Bahwa cerpen-cerpennya dianggap tak cukup
penting untuk diketahui dan diresapi karena bukan tentang sebuah 'ide
besar'.
Buat mereka yang sudah membaca, mencintai, dan memuja
Munro, Nobel Sastra menjadi sebuah penghargaan dan pengakuan yang sangat
layak akan apa yang telah ia lakukan selama ini. Buat yang belum
mengetahui Munro, semoga pemberian Nobel Sastra menjadi alasan (gengsi)
yang cukup kuat untuk membuat mereka mulai mengenal karya-karyanya.