Senin, 22 Juli 2013

Joe Taslim: "Sayang Film Indonesia Hanya untuk Kalangan Sendiri"



Nama Joe Taslim kini makin banyak dielu-elukan. Selain karena modal wajah tampan, kepiawaian aktor "The Raid" ini telah membawanya ke Hollywood. Perannya sebagai salah satu penjahat di "Fast & Furious 6" mengundang decak kagum masyarakat penikmat film. Di "Fast & Furious 6", dia bukan hanya bermain 'asal lewat', tapi banyak adegan yang melibatkan pria kelahiran 23 Juni 1981 ini.

Identik dengan aktingnya di film laga, Joe Taslim banting setir dengan membintangi sebuah film drama romantis religi "La Tahzan". Dalam film itu, Joe memerankan tokoh Yamada, orang Jepang-Indonesia yang jatuh hati pada seorang wanita Indonesia bernama Viona yang diperankan Atiqah Hasiholan.

Bagaimana pengalaman Joe terlibat dalam film yang jenisnya jauh berbeda dari film-filmnya yang terdahulu yang identik dengan kekerasan? Seperti apa karakter Yamada yang diperankan Joe Taslim di "La Tahzan"? Joe Taslim menyempatkan diri datang ke kantor Yahoo! Indonesia di kawasan Senayan pada Rabu (10/7). Kepada Yahoo! OMG!, Joe mengungkapkan perbedaan yang dia alami antara pembuatan film Indonesia dan film Hollywood.

Apa kelebihan film "La Tahzan" dibanding dengan film drama religi lain sejenis?
Menurut saya, ini film yang relatif ringan, misalnya, kalau dibandingkan film “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Kami syuting selama 12 hari, ada tim kecil, semangat mandiri, kita tidak hanya bertindak sebagai aktor, tapi terkadang juga pegangin lampu, lakban, dan lain-lain. Kami syuting di Jepang dengan jumlah kru yang sedikit sehingga kerjanya lebih fleksibel  saja.

Syutingnya full di Jepang?
Tiga hari di Jakarta. Lebih berdasarkan pertemanan dalam pembuatannya. Saya pernah terlibat di proyek raksasa yang beda banget cara kerjanya. Di sana ada pembagian kerja yang jelas. Tapi di sini kita memposisikan sebagai pemain dan sebagai kru karena ini merupakan proyek bareng sehingga kita saling bantu.

Kalau dibandingkan dengan kompetitor film drama religi lain, film ini lebih ke drama romantis. Ringan tapi ada muatan religinya, tapi tidak fokus di situ.

Apa sih daya tarik film ini untuk Joe Taslim?
Sangat menarik karena saya enggak pernah main film seperti ini. Sebenarnya film-film saya itu lebih seperti (kalau di musik) itu rock. "Fast & Furious 6" hip hop banget. Tapi "La Tahzan" lebih drama, ringan, kisah cinta.

Bagi saya sebagai pemain, saya butuh keluar dari zona aman sekali-kali sebelum kembali lagi bermain di film laga. Lebih untuk menggali potensi yang ada dalam diri saya, untuk mengukur kalau saya main drama seperti apa sih. Sebenarnya ini berisiko, tapi saya ingin merasakan main film yang temponya tidak cepat, tanpa  berdarah-darah, tapi lebih ke drama dan ringan seperti ini sebelum kembali lagi ke film yang mungkin lebih gila lagi tahun depan. Secara karir, untuk saya ini bagus dan jadi lebih ada warna.

Jadi ini film drama pertama kamu, Joe?
Ya. Untuk sebuah film drama yang ringan dan romantis.

Apa tantangannya?
Kalau kita bicara dalam ukuran berat atau ringan, ini ringan tapi karakter yang saya mainkan cukup menantang karena saya harus bisa bahasa Jepang dan harus hidup seolah-olah sebagai orang Jepang asli. Itulah kenapa saya mengambil proyek ini ketika mereka menawarkan.

Saya enggak bisa bahasa Jepang, tapi justru itu tantangannya. Saya mau mengambil risiko itu. Saya harus belajar bahasa Jepang dan memerankan karakter yang jauh berbeda dari yang selama ini saya mainkan. Mungkin besok-besok saya jadi orang Vietnam, Hongkong, atau Filipina. Tapi itu hanya mungkin kalau kita mau mengambil risiko, kalau tidak, kita hanya punya punya satu warna saja.

Siapa itu Yamada, karakter yang Anda mainkan?
Yamada adalah karekter orang Jepang, tapi dia kenal Indonesia. Ibunya Indonesia, ayahnya Jepang. Ini tidak diceritain di film, tetapi selama memperdalam karakter Yamada, dia akrab dengan kultur Indonesia, dia bisa bahasa Indonesia walaupun terbata-bata. Kalimatnya terbalik-balik, karena kalau di Jepang itu kan bukan subjek, predikat, objek, tapi objek dulu. Dalam penulisan misalnya, "ke Tokyo saya mau pergi", bukan "saya mau pergi ke Tokyo".

Kebetulan saya punya beberapa teman orang Jepang-Indonesia yang mengatakan kalau berbicara dalam bahasa Jepang itu selalu terbalik-balik. Jadi, kalau saya bicara bahasa Indonesia saya harus berpikir beberapa detik dan tidak boleh cepat, tidak boleh terlalu lancar. Itu tantangannya.

Yamada ini besar dengan dua kultur kedua orang tuanya. Dia suka fotografi dan bekerja freelance. Foto-foto hasil jepretannya dia jual online. Yamada bukan dari keluarga yang miskin, dia hanya lebih mandiri saja, mencari uang sendiri. Yamada seorang petualang.

Kalau hubungannya dengan karakter lain seperti Viona, dia mencari seorang istri yang karakternya lebih dekat ke ibunya, orang Indonesia. Dan itulah kenapa ketika pertama kali bertemu dengan Viona, ketertarikan itu muncul.
Mana yang lebih sulit, bermain film drama atau laga?
Sejauh ini, saya merasa bermain di film laga masih lebih berat karena Anda tidak cukup hanya memiliki kemampuan akting, tapi harus juga memiliki  fisik dan stamina yang tangguh. Tingkat kesulitannya lebih tinggi. Ini bukan hanya soal emosi tapi juga kekuatan fisik.

Ada adegan menangis di "La Tahzan"?
Tidak ada. Kalau menurut saya film ini bukan mewek. Pemahaman kita di Indonesia kalau nonton film drama itu adegan menangisnya. Di film ini tidak ada. Ada adegan sedih, tapi tidak dieksplor dengan adegan 3-5 menit menangis dalam satu scene tertentu.

Mereka ini terlibat cinta segitiga atau bagaimana?
Sebenarnya cinta segitiga, tapi semuanya menggantung karena Hasan (Ario Bayu) dan Viona (Atiqah Hasiholan) itu berteman baik tapi tidak ada yang bilang suka, tidak ada yang menyatakan perasaan cinta, jadi seperti teman sejati. Tapi sebenarnya mereka ingin lebih dari itu karena mereka selalu bertemu. Sampai akhirnya mereka terpisah. Hasan bekerja dan Viona mendapat program kerja sambil belajar di Jepang.

Nah, di sanalah karakter yang ada dikenalkan, saat Yamada bertemu Viona secara tidak sengaja. Lalu ia mengejar Viona terus sampai satu titik di mana Yamada mengetahui bahwa Viona sedang mencari teman baiknya, Hasan. Tapi situasi itu bukan membuat Yamada mundur, ia berpikir masih memiliki kesempatan mendapatkan Viona dengan persaingan yang adil dan membuatnya semakin tertantang untuk maju. Namun akhirnya Yamada menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dan tidak segampang itu.

Masih latihan beladiri?
Masih latihan setiap hari untuk melatih fisik. Karena saya tidak tahu apakah nanti malam, besok, atau minggu depan saya harus berangkat ke mana. Harus selalu mempersiapkan diri, ada proyek atau tidak, tetap ready dan steady.

Lalu bagaimana cara membagi waktu untuk keluarga?
Banyak waktu sebenarnya untuk keluarga, karena saya kan tidak ngambil pekerjaan untuk televisi. Saya menyibukkan diri saya latihan, membaca, bertemu klien sampai sore, lalu kembali lagi untuk keluarga.

Setelah "La Tahzan", apa proyek film selanjutnya?
Main di film garapan Gareth Evan, "The Night Comes for Us". Kembali lagi ke warna asli saya di mana ada adegan membunuh dan banjir darah. Sekarang setiap hari saya mempersiapkan diri untuk itu, agar lebih berotot, menaikkan berat badan karena karakternya di film itu akan lebih susah dibunuh.

Akah bergabung lagi di proyek sebesar "Fast & Furious 6"?
Belum ada yang resmi. Audisi masih jalan terus, ada beberapa proyek di Amerika tapi belum ada berita yang resmi atau proyek yang gol. Nanti pastinya saya kabari.

Terakhir, apa sih perbedaan syuting film Indonesia dan film Hollywood?
Skalanya pasti berbeda. Yang paling terlihat dari sisi manajemennya. Di sana tidak ada orang yang terlambat. Tapi ketepatan waktu itu bukan sesuatu yang wah, karena bayaran mereka memang besar. Seleksi untuk mendapatkan pekerjaan juga ketat. Kalau mereka sudah dapat satu pekerjaan dan bayarannya bagus, konsekuensinya dia harus menunjukkan performa kerja yang maksimal. Saya hampir tidak pernah mengalami ada orang yang terlambat saat mau syuting. Semuanya on time.

Kalau dari segi akting, saya rasa tidak banyak perbedaan dengan bintang film di Indonesia. Di sini banyak yang bagus, tapi sayangnya film kita hanya ditonton untuk kalangan sendiri. Sementara Amerika pintar, mereka buat film untuk ditonton masyarakat dunia. Jadi ada perbedaan dari sisi visinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar